Mengadopsi Situasi dalam Drama Korea Start-Up untuk Sistem Pendidikan di Indonesia
Sumber gambar: Freepik.com |
Saya pernah mendengar ini dari seseorang. Dia bilang kalau pendidikan adalah salah satu jalan yang diberikan Tuhan untuk seseorang mengubah kehidupan. Pikiranku saat itu langsung membayangkan soal kondisi ekonomi seseorang—yang awalnya tidak begitu baik, bahkan cenderung kesusahan, bisa menjadi jauh lebih sejahtera berkat pendidikan. Demikian sederhana apa yang ada di dalam isi otakku ini, memang.
Namun, bagaimana pun juga, pikiran semacam itu
tidak bisa disangkal begitu saja. Faktanya, memang banyak orang-orang yang
mengejar pendidikan tinggi demi mengubah kondisi ekonomi. Sekolah tinggi demi
meraih pekerjaan bergengsi, lalu hidup dengan nyaman tanpa memikirkan soal
keuangan.
Apakah salah hidup dengan cara seperti itu?
Saya rasa tidak. Namun, saya juga tidak sepenuhnya mendukung hal tersebut
sebagai langkah hidup yang tepat. Buat apa kita merengkuh pendidikan tinggi,
tapi cuma demi memenuhi ego pribadi?
Sesulit apa pun kehidupan, kita tidak boleh
lupa bahwa selama ini kita tidak pernah hidup sendiri. Selalu ada orang-orang
baik yang ada di sekitar kita. Mereka, sedikit-banyak pasti pernah turut
berkontribusi dalam upaya kita mencapai kesuksesan. Setidaknya, lewat doa.
Artinya, secara tidak langsung, ketika kita
mencapai kesuksesan, kita memiliki “utang budi” kepada orang lain. Dan yang
namanya utang, di mana-mana harus dibayar. Dalam hal ini, hal yang bisa kita
lakukan untuk melunasi utang-utang tersebut adalah turut berkontribusi dalam
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sehingga, ketika kita sudah memutuskan untuk
meraih kesuksesan lewat jalan pendidikan tinggi, kita harus sadar akan
konsekuensinya. Kelak, kita pun memiliki tanggung jawab untuk membantu orang
lain. Pendidikan tinggi itu bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kata-kata
seseorang tentang pendidikan sebagai salah satu jalan yang diberikan Tuhan
untuk mengubah kehidupan, bukan semata-mata ditujukan untuk diri sendiri,
tetapi juga untuk orang lain.
Mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk
mengenyam pendidikan tinggi pun, bisa meningkatkan kesejahteraan hidup lewat
campur tangan kita—atau orang lain yang berkesempatan mengenyam pendidikan
tinggi.
Permasalahannya, pemikiran semacam ini masih
cukup asing bagi para anak muda. Oleh sebab itu, jika suatu saat nanti saya
memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin, saya akan menggunakan wewenang saya
untuk melakukan beberapa perubahan untuk sistem pendidikan di Indonesia.
Tidak ada yang salah dengan sistem pendidikan
di Indonesia saat ini. Namun, bukan berarti tidak diperlukan upaya-upaya
tertentu untuk membuatnya menjadi semakin baik.
Untuk mengubah paradigma bahwa segala
pencapaian hidup kita adalah berkat jerih payah sendiri, sehingga tidak perlu
peduli kepada orang lain, menjadi pemikiran yang lebih manusiawi—bahwa dalam
setiap hal yang kita peroleh ada campur tangan orang lain, sehingga kita harus
membalas jasa-jasa mereka, kita perlu mengubah—atau setidaknya melengkapi,
sistem pendidikan di Indonesia.
Caranya seperti apa? Di sini peran generasi muda sangat diperlukan, sebab di tangan merekalah perubahan ini bisa
dilaksanakan.
Akselerasi Pendidikan di Indonesia
Sebelumnya, saya ingin menceritakan dulu awal
mula ide ini tercetus. Saya adalah penggemar serial drama Korea, dan belakangan
ini ada serial drama yang sangat menarik. Orang-orang yang bukan penggemar
drama Korea pun banyak yang turut menggandrunginya. Judulnya Start-Up.
Saya tidak akan mengulas secara detail soal
cerita dalam serial yang tayang di salah satu stasiun televisi kabel Korea
Selatan dan juga platform streaming Netflix tersebut. Akan terlalu
menghabiskan space. Cukup beberapa hal yang relate dengan dunia
pendidikan di Indonesia.
Dalam serial Start-Up diceritakan bahwa
seorang yang tidak berpendidikan tinggi pun bisa menjadi seorang pemimpin.
Lewat sebuah seleksi sederhana—hanya menebak beberapa kata populer yang
berhubungan dengan satu kata kunci untuk mengetahui seberapa paham ia dengan
tren yang tengah marak, seseorang bisa menjadi CEO dari sebuah tim untuk
membangun bisnis.
Mungkin terkesan naif dan konyol. Namun,
sesungguhnya hal ini benar-benar bisa diterapkan dalam kehidupan, khususnya
untuk pendidikan di Indonesia.
Poster Drama Korea Start-Up yang tayang di TvN dan Netflix. (Sumber gambar: Cinemags.co.id) |
Perlu kita ingat, generasi muda sekarang amat
sangat berbeda dengan generasi muda zaman dulu. Mereka jauh lebih lihai untuk
melakukan sesuatu. Tanpa harus belajar secara intensif pun, mereka bisa
memahami suatu hal dengan baik. Fakta inilah yang mesti kita mix and match-kan
dengan sistem pendidikan di Indonesia saat ini.
Saya tidak akan menafikan betapa pentingnya
seseorang untuk meraih pendidikan tinggi. Namun, demi akselerasi pertumbuhan
ekonomi, yang selanjutnya juga akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat,
kita perlu memiliki sistem pendidikan yang lebih efektif dan efisien.
Coba kita cermati kondisi pendidikan di
Indonesia sekarang. Terlepas dari belum meratanya pendidikan di seluruh
penjuru negeri, seseorang memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mencapai
level pendidikan tinggi.
Dimulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, sampai
Perguruan Tinggi. Setidaknya perlu 18 tahun untuk mencapai gelar sarjana. Itu
pun jika semuanya berjalan secara normal. Bisa lebih cepat, tapi paling hanya
2-3 tahun (melalui kelas akselerasi)—masih tetap membutuhkan setidaknya 15
tahun (bukan waktu yang sebentar). Bahkan jika tidak lancar, waktu yang
diperlukan akan semakin lama.
Itu baru untuk mencapai gelar sarjana. Belum
lagi jika ingin S2 atau bahkan S3. Diperlukan waktu yang jauh lebih lama lagi.
Sehingga, sangat wajar jika kemudian orang-orang yang berhasil mencapai
pendidikan tinggi, ingin memiliki kehidupan yang nyaman. Perjuangan mereka
memang tidak main-main.
Nah, agar semuanya lebih efektif dan efisien,
dari serial Start-Up tadi sesungguhnya kita bisa belajar sesuatu. Tanpa
harus mencapai level pendidikan tinggi (sebut saja S1), seseorang tetap bisa
berprestasi dalam bidang prestisius (bukan pekerjaan kasar). Jadi, daripada
menghabiskan waktu yang panjang untuk sekolah, lebih baik seorang anak dididik sesuai
potensinya.
Mendidik Sesuai Potensi Peserta Didik
Masih ingat jika mata pelajaran anak sekolah
saat ini masih begitu banyak? Maka, tanpa bermaksud meremehkan beberapa mata
pelajaran sebagai ilmu yang tidak penting, kita perlu menguranginya, kemudian
fokus pada satu hal yang menjadi potensi dari anak itu.
Dari tingkat pendidikan mana hal ini harus
dimulai? Dari tingkat sekolah dasar pun sebenarnya potensi itu sudah bisa mulai
dilihat. Jadi, seandainya jadi pemimpin, saya akan membuat kelas-kelas khusus
untuk melahirkan generasi muda hebat dalam waktu yang relatif singkat—tanpa
menghapus sistem pendidikan yang telah ada.
Dimulai dari keinginan sendiri—orang tua bisa
mendaftarkan anak mereka untuk mengikuti program ini (tidak ada unsur
pemaksaan). Selanjutnya, ada seleksi untuk mengetahui potensi anak, sekaligus
mungkin-tidaknya ia mengikuti program ini (perlu kerja sama dengan para
psikolog). Di tahap ini, peserta bisa diterima ataupun tidak.
Mereka yang tidak diterima, ataupun mereka
yang memang tidak berminat mengikuti program ini, tetap bisa bersekolah seperti
biasa, di kelas-kelas “normal”. Sementara yang diterima, akan menjadi siswa
program kelas khusus, yang hanya akan mempelajari hal-hal yang sesuai dengan
potensi dan minatnya. Cukup belajar formal sampai setidaknya tingkat SMA,
bahkan bisa lebih cepat, mereka sudah bisa terjun ke dunia profesional.
Gurunya siapa? Di sini kita membutuhkan
dukungan dan peran generasi muda saat ini. Selain membuka pendaftaran
untuk siswa, kita juga perlu membuka pendaftaran untuk anak-anak muda dengan
visi serupa, khususnya mereka para praktisi profesional dari berbagai bidang,
yang bersedia membagikan ilmunya kepada generasi calon penerus bangsa.
Waktu yang lebih singkat ini sangat diharapkan
mampu membuat generasi muda memiliki mindset bahwa mereka tidak hanya
dididik untuk kesejahteraan diri sendiri. Namun, mereka juga bertanggung jawab
untuk menularkannya kepada orang lain, orang-orang yang tidak memiliki
kesempatan serupa, agar sama-sama dapat “naik kelas” menuju kehidupan yang
lebih sejahtera.
Apakah terkesan naif dan mendiskreditkan
pihak-pihak tertentu? Semua kembali kepada diri kita masing-masing. Masa depan
pasti akan hadir dengan berbagai tuntutan yang bahkan tidak bisa kita bayangkan
sekarang. Namun yang pasti, kita akan terus dituntut untuk running.
Semakin cepat, akan semakin baik. Toh, kita tidak memaksa siapa pun. Semua ide
ini hanya untuk mereka yang berkenan, yang ingin lebih cepat berkontribusi
untuk kehidupan Indonesia yang lebih baik.
Ada line menarik dalam serial Start-Up,
“Dulu, para pengemudi angkong berdemo waktu taksi pertama diciptakan... Jika
dunia ini berjalan dengan mengabaikan inovasi, kita sekarang pasti masih naik
angkong, bukan taksi. Kita juga tak pakai ponsel, tapi masih pakai telepon
kabel.” []
Tulisan ini diikutsertakan dalam I Love Indonesia Blog Competition "Seandainya aku menjadi pemimpin, apa yang akan aku lakukan untuk Indonesia?" yang diselenggarakan oleh Golongan Hutan dan Blogger Perempuan. #Kabarhutanku #GolonganHutan #GolHutXBPN #BlogCompetition
Setuju, kita butuh pemimpin yang peduli pendidikan dan masa depan bangsa
ReplyDeleteIya Kak, pemimpin yang paham bagaimana kondisi anak bangsa zaman sekarang...
ReplyDelete