-->

[Resensi Novel Go Thunderfly...! Lintasilah Langit...!] Pertaruhan Muskil Si Jenius Cacat

Resensi Novel
HIBERNASI - Bayangkan kamu adalah seorang anak cacat dengan rangka baja untuk menopang kakimu. Sekian lama kamu hidup sebagai sosok yang introvert. Tidak punya banyak teman. Dan saat kamu baru saja merasakan indahnya berteman, kamu harus mengikuti orang tuamu pergi meninggalkan kota, menuju sebuah tempat yang jauh dari hingar-bingar metropolitan.
Itulah yang dirasakan Jonathan Wiryawan. Anak 14 tahun yang harus meninggalkan sekolah dan teman-temannya karena Fahru Wiryawan, ayahnya, harus mengejar karirnya sebagai arsitek di luar kota.
Jo—panggilan Jonathan, adalah anak yang jenius. Dia memiliki ketertarikan yang serius pada pesawat. Terakhir, Jo dan teman-temannya berhasil menjadi Juara Lomba Fisika Terapan SMP-SMA Tingkat Provinsi DKI Jakarta, tepat pada hari di mana Jo harus berpisah dengan teman-temannya.
Pindah ke kampung di daerah Magelang bukanlah hal yang diinginkan Jo. Dia sebenarnya berat untuk menerima kenyataan ini. Tapi, bagaimana pun juga Jo harus pergi. Ayahnya mendapat proyek dari seorang Kontraktor Miliarder Tohar Sirenggeng untuk membangun sebuah hotel di lembah dekat Candi Borobudur.
Tohar Siranggeng, Kontraktor kaya itu ternyata memiliki seorang anak laki-laki seusia Jo. Bryan namanya. Bagi Jo, bertemu dengan Bryan adalah sebuah mimpi buruk. Bagaimana tidak, pada pertemuan pertama mereka saja Jo sudah dibikin kesal oleh Bryan dan kedua sepupunya Alex dan Yudha dengan mengatai Jo “Manusia Robot.”
Fahru dan Mira Wiryawan, kedua orang tua Jo sebenarnya dapat merasakan apa yang dirasakan Jo. Mereka tahu betul jika anak semata wayangnya telah diejek oleh Bryan dan kedua rekannya. Namun, apa daya, ayah Bryan adalah alasan Fahru untuk berpindah ke tempat itu. Fahru tentu saja tidak ingin masalah sepele seperti ini akan menghancurkan karirnya.
Jo sangat paham dengan posisi ayahnya. Meskipun dia kerap mengambek, tapi sebenarnya Jo cukup kuat untuk menghadapi semua ini. Bagi Jo, ejekan-ejekan itu hanyalah angin yang berlalu.
Akan tetapi, setegar apapun Jo, dia tetaplah anak 14 tahun yang masih sangat labil. Jika kesal, Jo akan diam. Seolah-olah Jo memiliki dunianya sendiri dalam diam.
Fahru dan Mira paham benar watak putra mereka. Jika Jo sudah diam, hanya hal-hal yang benar-benar menarik yang dapat membuatnya tertarik untuk mengatakan sesuatu. Dan, Fahru selalu tahu caranya.
“Apa itu Jo?” Fahru memperlambat laju mobil dan ikut berusaha membaca apa yang tertera di atas spanduk itu. “Lomba layang-layang di Pelataran Candi Borobudur?” (hal. 27-28). Fahru yakin Jo akan tertarik untuk membicarakannya lebih banyak lagi. Bahkan, Jo sudah memikirkan bentuk layang-layang yang hendak dipakainya untuk mengikuti lomba itu. Naga.
Sebelum Jo benar-benar sampai di rumah barunya, mobil yang ditumpanginya telah mengantarkan Jo untuk bertemu sekelompok anak-anak asli kampung barunya. Fahru secara tidak sengaja menabrak seorang gadis seumuran Jo yang tengah mengendarai sepedanya karena kecerobohan teman gadis itu.
Peristiwa itu, tidak ada yang menyangka, akan menjadi awal persahabatan Jo dengan sekelompok anak kampung itu.
candi borobudur

Jo akhirnya benar-benar tinggal di kampung itu. Awalnya, begitu membosankan. Hingga akhirnya Jo bertemu lagi dengan sekelompok anak kampung itu yang tengah mengerjakan sebuah layang-layang.
Singkat cerita, Jo berteman dengan mereka. Jo membantu anak-anak kampung itu untuk membuat layang-layang. Anak-anak itu cukup terperangah dengan kecakapan Jo dalam memberikan ide-idenya. Jo pun merasa mulai menemukan teman-teman barunya, Bisma, Tia, Hasnah, Gagas, Danu, Kempling dan Gembul. Mereka adalah murid-murid SMP 1 Borobudur, sekolah kecil di lembah dekat Candi Borobudur. Sekolah yang tersangkut sengketa lahan.
Setelah beberapa kali berkumpul dengan anak-anak kampung itu, Jo akhirnya tahu bahwa lomba layang-layang itu adalah satu-satunya kesempatan bagi anak-anak itu untuk mendapatkan uang guna biaya pendidikan mereka. Apalagi, saat ini sekolah mereka sedang dalam masalah. Jika masalah tersebut tidak segera selesai, bisa jadi tahun ajaran mendatang mereka tidak akan bisa bersekolah.
Tohar Siranggeng adalah  dalang di balik permasalahan ini. Ia berniat membangun sebuah hotel di lembah Candi Borobudur untuk kepentingan komersil. Tak ayal, dia berusaha keras untuk mendapatkan kesepakan dengan berbagai pihak untuk membebaskan tanah lembah itu, termasuk SMP 1 Borobudur tempat anak-anak kampung itu mengais ilmu.
Jo begitu kaget saat tahu semua itu. Di satu sisi dia ingin teman-temannya dapat tetap bersekolah, di sisi lain, dia adalah anak dari arsitek yang merancang desain calon hotel yang akan di bangun di atas lembah itu. Ini adalah kali sekian Jo berada dalam posisi yang tidak dia harapkan.
Akhirnya, lomba layang-layang itu digelar. Namun, bukan kemenangan yang didapatkan Jo dan teman-temannya, melainkan sebuah pertaruhan muskil. Hal itu terjadi ketika Jo bertemu lagi dengan Bryan yang juga mengikuti lomba layang-layang. Mereka terlibat pertikaian yang akhirnya berujung pada sebuah kesepakatan. Jo menantang Bryan untuk terbang melintasi Candi Borobudur, dan mereka sepakat jika Jo mampu memenangkan pertaruhan ini, maka Bryan akan membujuk ayahnya untuk membatalkan pembangunan hotel. SMP 1 Borobudur Selamat. Tapi, jika Jo kalah, dia harus membayar lebih mahal daripada sekadar kematian.
Kompetisi ilegal itu pun tak dapat dihindari, dan kondisinya tidak seperti yang diharapkan Jo. Ia yang bermaksud baik untuk menyelamatkan sekolah teman-temannya, harus menelan pil pahit. Anak-anak kampung itu tidak sepakat dengan cara Jo. Mereka merasa menjadi barang taruhan.
Tapi Jo tidak menyerah begitu saja, dia melakukan berbagai hal untuk memenangkan kompetisi ini. Hingga akhirnya satu per satu temannya mulai bisa menerima cara Jo. Mereka bekerja sama membuat sebuah pesawat mini. Thunderfly!
Di sisi lain, Bryan merengek kepada ayahnya untuk dibelikan balon udara untuk dipakai nanti pada saat acara peletakan batu pertama pembangunan hotel. Hari di mana kompetisinya dengan Jo berlangsung.
Pada akhirnya, Jo menjadi penyelamat Bryan. Dia beserta teman-temannya, dan dibantu oleh seorang gila, dapat benar-benar terbang melintasi Candi Borobudur.
Novel ini sangat menarik. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari ceritanya. Penulisnya sangat mahir menafsirkan imajinasinya dalam permainan kata-kata yang penuh makna dan sarat akan kearifan lokal. Novel ini merupakan sebuah rangkaian kehidupan yang sederhana, namun sangat dekat dengan kehidupaan kita. Penulis telah memikirkan cerita di novel ini selama bertahun-tahun, dan menuangkannya ke dalam tulisan dalam waktu beberapa bulan saja. Hasil ini tentu masih belum sempurna. Penulis masih membuat beberapa kesalahan dalam penulisan novel ini. Perbaikan naskah sepertinya kurang diperhatikan, sehingga masih banyak terdapat kesalahan tulis yang dapat mengganggu pembaca. Akhirnya novel yang sukses menyajikan perpaduan cerita tentang semangat, jiwa kompetitif, persahabatan, dan ketamakan sekaligus secara indah dan inspiratif ini tetap menjadi rekomendasi pilihan bacaan Anda dan keluarga.

Judul Buku              : Go Thunderfly...! Lintasilah Langit...!

Penulis                      : Violet Afifah

Penerbit                    : Republika

Tahun Terbit            : 2012

Tebal Buku               : x + 397 halaman

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "[Resensi Novel Go Thunderfly...! Lintasilah Langit...!] Pertaruhan Muskil Si Jenius Cacat"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel